Jendela
Hati

Wanita
Bicara

Keluarga

Remaja

Education
Corner

Manca
negara

Kiriman
Sahabat

Embun
Pagi

Televisi Yang Ku Benci

Lima tahun pernikahan, hampir ku lalui tanpa televisi. Ada sih televisi yang dibeli suamiku dengan warna yang kabur dan penuh bintik-bintik. Itu pun dinyalakan hanya sesekali tepatnya ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, peristiwa penting yang harus diketahui oleh semua orang di negeri ini dimanapun orang itu berada. Selain itu selama sebulan ketika televisi itu ada di dalam rumah kecil kami, saya tidak begitu sering melihat televisi karena banyak didominasi oleh kawan-kawan suamiku yang ketika itu kami semua adalah mahasiswa beasiswa yang hidup di perantauan negeri jiran. Biasanya setiap malam ada saja kawan-kawan suamiku sesama warganegara Indonesia dirantau yang menyimak acara televisi terutama berita-berita panas dari dalam negeri.

Kebutuhan terhadap televisi begitu diperlukan oleh para mahasiswa dan pekerja Indonesia di negeri lain, apalagi bila terjadi hal-hal yang menegangkan seperti bencana alam yang datangnya tiba tiba, kalau tidak tiba tiba, ya namanya bencana terencana bukan bencana alam. Selain itu hal-hal lain seperti percepatan resuffle klabinet, deg-degan ketika pemilihan ketua MPR yang dimenangkan oleh Hidayat Nur Wahid, juga ketegangan pengumpulan suara di gedung DPR yang pada masa itu disorot televisi habis-habisan. Ujung-ujungnyapun sudah dapat ditebak, walau pemirsa menonton televisi pagi siang malam, tetap saja kemiskinan dan kesulitan mencari pekerjaan di negeri ini tidak menjadi  berkurang.

            Anak-anakku? dari sejak usia 4 tahun tidak begitu kukenalkan dengan televisi. Selain tidak ada film kartun yang menarik buat mereka, saya termasuk ibu yang pencemburu. Saya  akan marah dan sakit hati bila anak saya lebih memperhatikan televisi daripada diri saya yang sehari-hari sudah sibuk dengan mereka, pekerjaan rumah dan kerjaan di sekolah. Perlu diketahui, semasa ikut suami saya merantau ke negeri jiran, saya merambah dunia pendidikan dengan selalu membawa anak-anak saya kemana-mana, baik di sekolah maupun belanja. Anak-anak selalu saya bawa, sehingga bagi saya yang malas nonton televisi, anak-anak saya pun menjadi malas juga melihat televisi. Hal lain yang membuat saya malas menonton televisi sebetulnya dilatarbelakangi faktor sifat tidak sabaran. Rasa tidak sabar itulah membuat saya lebih menyukai membaca buku yang happy endingnya tidak harus menunggu iklan dan bisa saya lakukan dimana saja saya berada, artinya kalau mau melihat akhir cerita bahagia atau tidak, tinggal membuka halaman paling belakang dan membaca beberapa halaman terakhir, maka akhir cerita sangat mudah ditebak.

            Lagi mengenai televisi, sempat terjadi perbedaan pendapat antara saya dan suami saya. Ketika suami saya kembali dinas di Jakarta, kami mendapatkan rumah kecil yang manis. Lalu timbullah perdebatan apakah kami akan membeli televisi atau tidak. Akhirnya perbedaan pendapat itu dimenangkan suami saya yaitu televisi diadakan dan dibeli buat anak-anak, namun waktu menonton dibatasi. Hanya saja dalam prakteknya ternyata susah untuk membatasi anak-anak saya menonton mengingat acara anak-anak terus menerus ditayangkan sedangkan kesepakatan kami dengan anak-anak adalah hanya boleh menonton acara untuk anak-anak saja. Namun karena acara anak-anak berganti terus disetiap channel dari pagi hingga malam hari, maka begitu ada waktu senggang, pasti televisi yang dicari, bukannya umi.

Duh, saya harus geram dan menahan rasa cemburu pada televisi yang telah menyita perhatian dan waktu belajar anak-anak. Semua dilakukan dengan tergesa-gesa, terkadang makanpun dengan mata melirik-lirik dan telinga menegang mencuri perhatian pada televisi yang dinyalakan oleh siapa saja yang lewat dirumah kami. Sedikit kegusaran dan berujung kemarahan ketika melihat acara anak-anak, baik berupa blue clues, Ipin Upin, Doraemon yang lucu sampai film Bananas in Pyjamas yang sudah tidak tayang lagi yang lalu disela-selanya berkelebat aurat wanita dan aksi para wanita seksi dalam sebuah iklan minuman. Sungguh membuat hati gusar, apakah yang merancang acara di televisi tidak punya anak atau tidak punya adik yang menurut saya jelas tidak punya perasaan dan tidak peduli anak-anak menonton apa, yang penting mereguk untung dari iklan yang ditayangkan dalam spot acara apa saja.

            Teringat saya semasa study di Australia, waktu itu ada acara anak-anak yang sangat  bagus dan tidak ada iklan sama sekali. Selain itu acara orang dewasa biasanya ditayangkan pada pukul 9 malam, acara dikelompokkan yaitu acara anak-anak sendiri dan acara orang dewasa sendiri sehingga ketika anak-anak sudah tidur baru ada acara orang dewasa. Menurut saya, di negara kafir dan bebas seperti Australia saja, nonton televisi bagi anak-anak usia balita relatif lebih aman daripada di Indonesia. Apalagi kalo di Malaysia, sungguh sejuk menonton berita atau acara apa saja karena nuansanya cukup kental dengan keislamian dan budaya melayu. Pemain sinetronnya pun masih sopan dalam berpakaian, jarang ada yang buka-bukaan, dan ketika saya terperangah melihat acara sinetron dewasa yang buka-bukaan lalu mendengar lagu pengantar ditayangkan, maka saya langsung sadar itu sinetron Indonesia yang dibeli televisi Malaysia. Subhanallah, bila film barat jarang yang bisa tayang di televisi Malaysia dan kurangnya pengaruh film barat pada artis Malaysia, maka mereka memasukan budaya barat melalui film Indonesia yang ditayangkan juga di Malaysia sehingga sekarang sudah banyak juga artis Malaysia yang mulai membuka aurat lebih banyak lagi daripada sebelumnya.

            Satu hal lagi yang membuat hati ini sedih ketika ada kesempatan umrah yang kedua kalinya, saya melihat televisi di kota Makkah yang hanya berjarak berapa ratus meter dari ka’bah, mulai ada film dari Libanon dan negara sekitar yang pemainnya non muslim. Aurat mulai terpampang di layar televisi, sebatas paha dan dada dengan bebasnya. Saya tidak mengerti, seingat saya acara tersebut ditayangkan bahkan selepas magrib dan tidak ada tanda-tanda bahwa itu acara untuk orang dewasa, sementara di chanel-chanel lain terdapat alunan surah Al Quran, ceramah agama dan tayangan langsung dari Masjidil Haram.

            Miris, karena seingat saya tayangan televisi yang mengumbar aurat hanya ada di kota Jeddah saja, namun saat ini di kota Makkah yang sangat dekat dengan Ka’bah pun tertayang juga film seronok dengan bebasnya. Boikot televisi di rumah, sempat saya lakukan karena waktu untuk bicara dengan suami dan anak-anak menjadi semakin sedikit karena dari pagi hingga malam hari ada saja acara yang menarik, dimulai dari liputan pagi mengenai penculikan, anak hilang, apalagi dengan banyaknya bencana mulai dari kisah Mbah Marijan, kematian Ajie Masaid sampai tsunami di Jepang, seakan tak habis-habisnya acara televisi buat ditonton.

            Akhirnya saya menetapkan dengan keras dan tegas bahwa anak-anak hanya boleh menonton televisi hari ahad saja. Selain itu mungkin karena mereka melihat bahwa saya sebagai ibu gemar membaca dan kebetulan anak-anak saya juga gemar membaca, maka merekapun tidak perlu berseteru dengan saya. Walaupun ada sedikit keluhan namun mudah ditanggulangi. Pada saat peraturan baru mulai ditegakkan, maka mereka pun beralih ke membaca buku. Setiap malam sebelum tidur kami sibuk merapihkan buku yang bercecer dimana-mana, dan anak-anak kemudian bertambah minusnya dengan bertambahnya buku dirumah kami.

            Kata orang nonton saja dengan bimbingan orang tua. Saya setuju saja bila orang tuanya berjiwa pendidik, kritis dan mau sabar menonton acara anak-anak serta mau mengerti ketika anak-anak menyuruh diam, sebab pasti ditengah acara anak-anak, sang orang tua akan berkomentar ini dan itu.

            Jujur saja, saya sendiri merasa keberatan nonton sering-sering dengan anak-anak karena kita kadang tidak siap dengan pertanyaan anak anak. Bila mau ideal, sebaiknya kita nonton dulu acara atau film tersebut, setelah itu kita akan siap menjawab pertanyaan anak-anak yang sangat kritis, itupun bila dia bertanya biasanya mereka asyik sendiri dengan adegan yang ditonton. Dan mungkin orang tua juga tidak siap menahan sabar ketika ada adegan yang tidak pas menurut orang tua dan anak udah keburu asyik dengan acara yang ditayangkan.

            Ada lagi ide untuk menonton film dengan membeli VCD dan film islam. Menurut saya tak semudah itu juga, mungkin bisa bila kita bersikap disiplin dan tegas sejak masih kecil. Namun bila kita tak ada di rumah dan semua CD sudah ditonton semua, maka curi-curi yang direstui untuk menonton acara televisi oleh anak-anak  akan semakin sering terjadi dan bila sudah sering terjadi maka susah di stop untuk anak tak suka dengan acara televisi.

            Ada hal yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk diri saya sendiri dan anak-anak dengan bersepakat dengan suami untuk meniadakan televisi di rumah. Untuk mengetahui berita, kami bisa membaca lewat koran dan media online saja. Ketika suatu hari saya berjumpa seorang ibu usia 65 tahun, dan beliau mengatakan bahwa hidupnya hanya sendiri karena semua anak sudah tinggal jauh di luar kota, hari-harinya dihabiskan menunggu malam dan malam menunggu pagi dengan membaca Al Quran. Selain itu dia juga pergi ke pengajian seminggu sekali, beribadah dan menonton televisi sampai ketiduran sendiri, dan ketika pagi hari terbangun dengan suara berisik televisi yang sudah tidak ada lagunya lagi, sang ibu lanjut dnegan sholat malam, lalu diwaktu senggang sang ibu tua ini pun kembali menonton televisi.

            Masya Allah, suka tak suka acara lawak, sinetron, joget-jogetan mewarnai hari-hari sang ibu sampai tua, menunggu waktu dijemput malaikat maut dengan ibadah dan nonton televisi. Hmmm ogahh akh.. kalau malaikat maut menjemput ketika kita lagi terbahak-bahak menonton lawak atau tengah mengomentari sang koruptor dengan pedas atau menangisi kematian pemain sinetron berwajah tampan bagaimana? apakah bisa khusnul khotimah, wallahua’lam bishowab.

Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (QS: Al Mu’minuun: 3)

1 komentar:

Julya Dinata mengatakan...

insyaAllah bismillah

Posting Komentar